
Pakaian Adat Jawa Surakarta
Pakaian Adat Jawa Surakarta – Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu ditandatanganinya Perjanjian Jainti yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian yang disebut Yogyakarta dan Surakarta. Dilatarbelakangi oleh latar belakang politik yaitu perang saudara yang memanas dengan cepat antara Pangeran Aryeo Mangkubumi dengan Sinuhun Paku Buwono II, kompeni tersebut akhirnya mencoba menengahi sekaligus strategi licik memecah belah atau bahkan lebih baik Verdil en Heers. -dikenal devide et impera. Kompeni Belanda memanfaatkan pertikaian internal di Kerajaan Mataram untuk membagi-bagi kekuasaan dan mempermudah penguasaan. Melalui perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi bertahta di Yogyakarta dan kemudian diberi gelar Sultan Hamengkubuwono I. Sedangkan Sinuhun Pakubuwono III bertahta di Surakarta. Kemudian masyarakat di kedua wilayah ini berkembang dengan ‘caranya’ masing-masing. Mulai dari cara pandang, gaya hidup, cara berbicara, cara berpakaian, gamelan dan seni tari. Nah, sangat beragam dan sangat unik. Misalnya, ternyata ada perbedaan gaya berpakaian pria Jogja dan Solo.
Bedanya ada di mandolon atau back coil. Di Yogyakarta, candi-candi tersebut menonjol dan cukup besar. Sedangkan bentuk solonya flat/flat/treble. Mengapa? Masing-masing memiliki makna filosofis yang menarik. Pada zaman dahulu banyak pria Jawa yang berambut gondrong sehingga banyak yang diikat dengan ikat kepala sehingga terdapat mondolon atau tonjolan di belakang tempat ikat rambut di Blangkon Jogja. Ada juga yang mengartikan koil sebagai aib yang harus disembunyikan, baik aib diri sendiri maupun aib orang lain. Jaga perasaanmu untuk menjaga perasaan orang lain. Sekalipun hatinya menangis atau marah, tetaplah tersenyum. Sedangkan di Solo yang lebih dekat dengan penjajahan, masyarakat Solo sudah terbiasa dengan bercukur. Itu sebabnya Blangkon Solo hanya mengikat 2 simpul. Kedua ikatan ini seperti dua kalimat syahadat yang harus diikat kuat dalam kehidupan.
Pakaian Adat Jawa Surakarta
Ada dua filosofi tentang blangkon itu sendiri. Yang pertama ditempatkan di kepala agar produk yang dihasilkan kepala yaitu berupa pemikiran, gagasan, konsep selalu berada dalam koridor nilai-nilai agama Islam. Jadi mereka tidak dibiarkan bebas, tetapi diperintahkan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Menjadi rahmatan lil aalameen (rahmat bagi seluruh alam). Filosofi kedua, blangkon itu seperti makrokosmos (penguasa alam semesta), sedangkan kepala adalah mikrokosmos, yaitu makhluk yang disebut manusia. Artinya dia harus selalu tunduk dan taat kepada Penciptanya, yaitu Sang Pencipta, dalam menjalankan amanatnya sebagai Khalifa Fil Ardhi (pemimpin di muka bumi).
Pakaian Adat Jawa Tengah: Gambar, Keunikan Dan Penjelasannya (lengkap)
Pakaian adat laki-laki di Jogja disebut Surjan. Motifnya ada 2 jenis, surjan belang dan surjan kembang. Di Solo, pakaian pria disebut Beskaap, bentuknya seperti jas yang dirancang oleh orang Belanda sendiri, yang berasal dari kata Beskaafd, artinya berbudaya atau berbudaya.
Perbedaan yang paling menonjol antara Bescap dan Surjan adalah pada bentuk kancingnya, pada gaya Solo terdapat kancing di samping, sedangkan pada gaya Jogja kancingnya lurus dari atas ke bawah.
Dalam gaya tunggal, keris disebut ladrang sedangkan joging disebut brangah. Ladrang memiliki bilah (sarung) yang tipis dan sederhana tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya Senopetan dan Mataram Sultan Agung. Sedangkan keris solo lebih banyak ornamen dan bentuk/motif pada bilahnya karena mengikuti cita rasa Madura dari Mpu Brozoguno. Tekstur ukiran keris solo lebih halus dari jogja. Ada juga perbedaan pada gagang keris, tampang dll. Setiap orang memiliki filosofinya masing-masing.
Veeru di jari juga berbeda. Viru Yogyakarta ditunjukkan pada garis putih di ujung jari dan terkadang disertai dengan “lipatan” (lipatan). Sedangkan pada Viru Surakarta garis putih tidak diperlihatkan bengkok atau terlipat ke dalam sehingga tertutupi oleh Viru itu sendiri.
Pakaian Adat Jawa
Salah satu perbedaan tersebut adalah pada warna. Model batik Jogja berwarna putih dengan corak hitam, sedangkan kain batik Surakarta berwarna kuning dengan corak tanpa putih. Penggunaan kain batik juga berbeda. Keraton Jogja memiliki aturan ketat untuk penggunaan desain pakaian batik ini. Untuk acara pernikahan, kain batik yang digunakan harus bercorak Sidomukti, Sidoluhur, Sidosih, Taruntam atau Grompol. Untuk rangkaian mitoni, kain batik yang dapat digunakan adalah kain batik bermotif pisis seplok garudo, parang mangkoro atau gringsing mangkoro.
Batik keraton Yogyakarta dan Surakarta berasal dari sumber yang sama, yaitu motif batik Keraton Mataram. Tak heran jika keduanya memiliki banyak kesamaan pola, meski ada juga perbedaan dalam perkembangannya. Banyak pola yang mirip, meski namanya berbeda. Di Surakarta polanya disebut parang serpa, di Yogyakarta dikenal dengan nama golang galing. Pola liris Semeng di Surakarta di Yogyakarta disebut Rujak Senthe. Perbedaan yang sangat mencolok adalah pemakaian pakaian batik dengan pola churi dan slop. Pada gaya Surakarta batik kvastra disampirkan secara diagonal dari kanan atas ke kiri bawah, sedangkan pada gaya Yogyakarta disampirkan secara diagonal dari kiri atas ke kanan bawah. Selain itu, perbedaan antara batik Yogyakarta dan Surakarta adalah sebagai berikut:
Jalur miring desain parang di Solo dari kiri atas ke kanan bawah, sedangkan di Yogyakarta dari kanan atas ke kiri bawah. Pada batik kualitas bagus hampir tidak ada perbedaan antara depan dan belakang. Karena bisa dipakai bolak balik. Perbedaannya akan menjadi nyata hanya jika pengguna mengetahui konvensi dan mengikuti bagaimana seharusnya digunakan.
Perbedaan lainnya adalah warna dasar. Yogyakarta menggunakan motif geometris. Para penyelidik menemukan bahwa banyak dari desain geometris klasik ini juga terdapat pada artefak kuno, banyak di antaranya berusia lebih dari 1.000 tahun. Jadi ada yang percaya bahwa batik sudah ada saat itu. Yang lain berpendapat bahwa motif-motif kuno ini mungkin sudah dikenal pada masanya, tetapi ini tidak berarti bahwa motif-motif itu telah digunakan dalam batik. Setiap desain geometris memiliki nama dan makna simbolisnya sendiri. Pertama-tama, makna khusus dari asal-usul itulah yang menentukan kapan motif itu digunakan.
Pakaian Keprajuritan Kasultanan Yogyakarta
Di Pager Solo, anak-anak muda pintar itu cantik dan tampan. Di Solo lebih mengutamakan penampilan dan cenderung glamour, sedangkan di Jogja resepsi ada pasangan yang lebih tua yang menjadi penyeranta yang baik karena mereka menekankan kesederhanaan dan kearifan seseorang. Menurut kebiasaan orang Jogja, kalau orang berilmu akan terlihat lebih cantik/cantik.
Tata rias busana pengantin Jawa Solo/Surakarta merupakan wujud karya budaya yang sarat makna filosofis tinggi. Tradisi rias busana ini terinspirasi dari busana para bangsawan dan raja Keraton Kasunnan Surakarta dan Keraton Mangkunegaran di Jawa Tengah.
Untuk tata rias busana pengantin Solo Putri, mempelai pria mengenakan langanharjan sesuai pesanan dengan blangkon dan wiran batik motif Sidosieh Prada. Pengantin wanita mengenakan kebaya panjang klasik berbahan beludru hitam, dihiasi benang emas bersulam motif bunga mangar dan di bawahnya dibalut batik Sidosieh Prada. Riasan pengantin Putri Solo ini bak seorang putri dengan payudara hitam legam menghiasi dahinya. Tata rias rambut dengan mentul (simpul tengkurep) mirip ukel besar, ron melati tibo-dodo di bagian atas sanggul, sisir kundhuk dan mantol kundhuk yang dihiasi ornamen.
Sentuhan modifikasi pengantin Solo Putri terlihat dari gaya berbusana yang menggunakan kebaya berenda panjang. Jika sebelumnya hanya ada kebaya panjang berenda putih, kini banyak pengantin putri solo yang mengenakan kebaya dengan berbagai warna tali.
Pakaian Tradisional Nusantara Paling Populer
Selain solo putri, solo bridal style yang terkenal adalah solo basahan. Busana Solo Basahan berupa dodot atau kampuh dengan motif batik dalam bermotif binatang dan tumbuhan hutan. Seiring berjalannya waktu, pilihan motif dan corak warna dodot semakin beragam, namun pemilihan motif batik dodot tetap menganut filosofi derajat tinggi yang layak dikenakan oleh kedua mempelai.
Makna baju basah adalah simbol penyerahan diri pada kehendak Tuhan atas perjalanan hidup yang akan datang. Pakaian basah mempelai wanita berupa kemben untuk menutup dada, kain dodot atau kampuh, selendang sampur atau sinde, kain sekar abrit (merah) dan jarik yang berwarna sama, serta kembung berupa rantai yang dibuat bunga.Tujuan dibuatnya daun pandan adalah untuk menolak bala.
Busana basah mempelai pria berbentuk seperti kampuh atau dodot, dengan corak yang sama dengan mempelai wanita, kuluk (pilihan warna kini lebih bervariasi, tidak hanya biru sesuai tradisi keraton) seperti penutup kepala, panggung, timing belt, apec, Celana pendek Sinde Sekar, Keris Warangka Ladrang, Kembung, Keris Bawah, selop dan perhiasan kalung stretch.
Busana sikepan ageng / busana solo basahan keprabon merupakan salah satu gaya busana basah yang diwarnai oleh tradisi bangsawan dan raja jawa yang masih diminati hingga saat ini. Pengantin pria mengenakan kain dodotan dengan baju takwa, jenis kain yang hanya diperbolehkan oleh Ingkang Sinhun. Untuk mempelai wanita memakai kain kampuh atau dodot, dengan bolero pendek lengan panjang berbahan beludru untuk menutupi bahu dan dada.
Karnaval Pupuk Rasa Bhinneka Tunggal Ika Siswa
Tata rias dan gaun pengantin ala Jogjakarta tentunya terinspirasi dari gaun pengantin tradisional Keraton Jogjakarta. Ada banyak gaya pengantin jogja antara lain pes ageng atau biasa disebut kebesaran, pes ageng kanigaran, jogja putri dan kesatrian.
Tidak diragukan lagi yang paling terkenal adalah jogja pes ajeng atau gaya kebesaran. Pengantin Ageng Pe Jogja mengenakan dodot atau kampuh dengan ornamen khusus. Pai hitam dengan ban lengan emas di dahi, rambut bokor dengan gajah cantik yang digantung indah, serta sumpit dan aksesoris unik untuk mempelai wanita. Untuk mempelai pria memakai kuluk untuk menghiasi kepalanya, ukel engore (rambut yang digantung) dilengkapi dengan sisir dan kundhuk mentul kecil. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Lalu ada Paes Ageng Jangan Grotts. Pengantin pria mengenakan blangjen dibahu berbahan beludru berhiaskan sulaman, selendang yang diselempangkan di pinggang dan kanigara kuluk yang menutupi kepala. Pes Ageng Jangan Menir tidak menggunakan kain Kampuh maupun Dodot. Jika pes ageng jangan menir tidak menggunakan dodot kampung, pes ageng kanigaran malah menggunakan dodot kampuh yang menutupi cindy merah dan emas pada gaun pengantin.
Busana adat jawa surakarta, pakaian adat jawa namanya, harga pakaian adat jawa, pakaian adat jawa beskap, pakaian adat jawa tengah, pakaian adat orang jawa, pakaian adat jawa barat, pakaian adat jawa adalah, pakaian adat jawa, pakaian adat surakarta, pakaian adat jawa timur, pakaian baju adat jawa